Linimassa, Mereka yang Menciptakan Resonansi

Trilogi Linimassa, ketika pertama kali saya mendengar judul film ini, bayangan saya adalah bagaimana mendeskripsikan isi timeline twitter dalam sebuah film. Bayangan saya juga, linimassa itu terjemahan dari timeline yang menjadi "brand" dari twitter. Twitter itu (juga media sosial lain seperti facebook, friendster, koprol, dll) saya dari sudut pandang sekilas saya digunakan kebanyakan untuk ajang narsisme. ada pula twitter untuk mendukung kegiatan menulis dan "menggantikan" blogging. saya awalnya mengira isi film itu tidak jauh dari itu. Ternyata film ini jauh di atas daripada perkiraan saya.

Linimassa, Mereka yang Menciptakan Resonansi
nobar linimassa oleh @bloggerngalam

Film dokumenter Linimassa terdiri atas tiga film, Linimassa1, Linimassa2, dan Linimassa3 yang diprakarsai oleh ICT watch dan WatchDoc. Pada Linimassa 1 dan 2, film tersebut banyak bercerita tentang betapa suksesnya sosial media mengubah nasib Bangsa Indonesia. 

Pada Linimassa 1, misal adanya tukang becak yang mengoptimalkan sosial media untuk kegiatan "bisnisnya", bagaimana dengan sosial media dapat mengumpulkan manusia Indonesia dalam bentuk koin untuk prita, bagaimana sejuta facebooker mendukung Bibit-Candra, peran sosial media dalam mengumpulkan bantuan untuk korban bencan merapi dan lain sebagainya.

Sedangkan pada Linimassa 2, lebih berbicara pada ranah yang lebih ke akar rumput lagi. Misal bagaimana para pengguna sosial media di Ambon memberitakan fakta yang terjadi di sana dan isinya anti mainstream dengan media konvensional, adanya e-governance yang sukses di salah satu kampung terpencil di Tasikmalaya, bagaimana mereka di daerah pedalaman menjadi pewarta dari dirinya sendiri, dan beberapa lagi lainnya.

Mengutip pernyataan dari Yanuar Nugroho di Linimassa 1, kasus Prita beresonansi dengan kebanyakan pengguna Internet. Civil Society bertugas untuk mendekatkan dan membunyikan sehingga beresonansi dengan yang lain. Kita ingat pelajaran IPA SD, resonansi itu ketika satu benda berbunyi, maka benda lain berbunyi dalam frekuensi yang sama. Mungkin seperti itulah sosial media, ketika pembuat "status" mengatakan "A" maka para facebooker, tweeps, blogger, dan pengguna internet lainnya juga akan mengatakan "A".

Berbeda dengan dua film sebelumnya, Linimassa 3 lebih menceritakan bagaimana perjuangan menciptakan resonansi. Linimassa 3 merupakan kolaborasi dari lima film pendek yang disutradai oleh lima orang dari lima daerah yang berbeda. Darah Untuk Aceh, Satu Mug Beras Untuk Rokatenda, Omah Kendeng, Poso Bangkit, dan Samarinda Menggugat yang disutradarai oleh Yayan Zamzami, Tuteh, Sobirin, Jafar G Bua, dan Yustinus S Hardjianto.



Dalam film Linimassa 3 ini, lebih menceritakan bagaimana perjuangan masyarakat dalam memperoleh haknya. Bagaimana di Aceh penderita Thalassemia butuh darah dan Darah Untuk Aceh memfasilitasi dengan "mencari" pendonor lewat sosial media, bagaimana komunitas di Ende mengumpulkan beras untuk korban Gunung Rokatenda, bagaimana masyarakat bagaimana memperjuangkan keamanan dan berita bahwa Poso aman, bagaimana memperjuangkan agar sumber mata air mereka tidak tergusur oleh pabrik semen yang semakin menjamur, dan bagaimana perjuangan masyarakat samarinda mencari keadilan atas begitu kejamnya industri batu bara yang contoh kecilnya menyebabkan dua anak tenggelam.

Di Linimassa 3 ini, mereka mencoba dan berjuang mendapatkan resonansi dari pengguna media khususnya internet agar masyarakat dapat memperoleh haknya. menarik pernyataan di bagian Omah Kendeng bahwa kita ini adalah PKI, Penduduk Kurang Informasi. Untuk itulah mereka yang memiliki informasi berusaha untuk membagikan informasi yang selama ini tidak pernah dibuka oleh media mainstream.

Dan trilogi ini mencoba untuk membuat resonansi baru bahwa ini ada di masyarakat kita. Ada masyarakat yang memanfaatkan teknologi bukan sebagai ancaman melainkan sebagai aset yang bisa menaikkan taraf hidup masyarakatnya, bukan hanya untuk dirinya sendiri. dan di lain sisi, ada yang sedang berjuang untuk menunjukkan pada dunia bahwa ada kolonialisasi negara atas mereka. Semoga suatu saat ada Linimassa entah sekuel keberapa yang menceritakan suksesnya perjuangan sebagaimana yang ada di Linimassa 3.

Terpenjara di Udara



Meski bukan bagian dari judul Linimassa, ada satu lagi film yang juga produk ICT watch dan WatchDoc, Terpenjara di Udara.

Film Terpenjara di Udara menceritakan bagaimana media mainstream, televisi, radio, dan surat kabar, begitu dikuasai oleh pihak tertentu dan dengan tingkat pelanggaran hukum yang akut. penguasaan itu dapat berupa pemanfaatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tapi juga penguasaan untuk tidak menginformasikan kelompok masyarakat tertentu.
Pada 1 Februari ini, serentak setidaknya 50 lokasi (meski ada beberapa yang tidak pada hari itu) yang tersebar di berbagai daerah diadakan nonton bareng film trilogi Linimassa dan Terpenjara di Udara. di Yogyakarta, dari daftar yang ada, memang ada penyelenggaraan. Namun, karena saya masih terpenjara di udara (dalam arti yang lain) jadi saya tidak bisa mengikutinya. Alhamdulillah internet sehat memasangnya di youtube jadi orang seperti saya bisa juga menonton "film panas" ini :D.

Linimassa dan terpenjara di udara, Mereka yang Menciptakan Resonansi
nobar di @RumahKataID sumber @adiwkf
Keempat film ini memang bisa dikategorikan film panas, terserah siapa yang mau mengkategorikan dan bagaimana parameter mengkategorikannya :D. Bagaimana tidak, film ini menguak fakta yang tidak dibuka kepada publik oleh orang-orang yang katanya mengerti hukum. Mereka tahu hukum lalu mereka menyembunyikan atau mengendalikan hukum tersebut untuk kepentingannya sendiri. Saya yakin, jika film ini sampai masuk bioskop, siap-siap saja diberedel oleh orang yang punya kepentingan dan punya uang. Semoga dengan film ini, dengan sistem gerilya, akan muncul perubahan yang baik untuk negeri ini.