Mengembalikan Nusantara dengan Teknologi Informasi

"Nenek moyangku seorang pelaut", demikian lagu yang sering kita nyanyikan di masa kecil dulu. Lagu tersebut memang banyak tafsirnya. Ada yang menafsirkan bahwa para pendahulu bangsa ini adalah pejuang. Tetapi lagu tersebut dapat pula ditafsirkan bahwa melalui pelaut, pulau satu dengan pulau yang lain di negeri ini saling terhubung. Antar pulau memiliki konektivitas yang hingga akhirnya dapat disebut Nusantara.

Nusantara yang dikemudian hari lebih dikenal dengan Indonesia, bukan negara yang hanya dibentuk oleh satu dua pulau saja. Negeri ini dibentuk oleh ribuan pulau dengan ribuan budaya, tradisi, dan keanekaragaman kehidupan di dalamnya. Bhinneka Tunggal Ika, meski hidup dalam perbedaan, tetapi bukannya terpisah melainkan saling terhubung.

Lautan dan pelaut merupakan penghubung negeri ini. Sayangnya jika konektivitas yang telah hidup selama ribuan tahun ini semakin hari semakin pudar. Sehingga negeri menjadi semakin naif dengan memusatkan satu sistem kehidupan di satu pulau bahkan satu kota, yaitu Kota Jakarta di Pulau Jawa. Dan kota-kota lain di pulau-pulau yang tersebar di Indonesia kini tinggal menjadi pelengkap. Bhinneka Tunggal Ika tinggal semboyan tetapi esensinya telah hilang.

Bhinneka Tunggal Ika harus selalu ada jika negeri ini masih ingin ada. Kita hidup bukan di masa dengan naik kuda untuk transportasi. Kini kita hidup di era informasi. Kecepatan informasi jauh lebih cepat daripada sekedar kecepatan larinya kuda. Oleh karena itu sudah saatnya jiwa pelaut tersebut diturunkan kepada kekuatan informasi. Sudah saatnya teknologi informasi menjadi penyambung kehidupan di seluruh Indonesia. Dan bukan lagi saatnya teknologi informasi monopoli masyarakat ibukota.

Sudah saatnya kita saling mengenal sesama masyarakat di Indonesia meski belum bisa saling mengunjungi secara fisik. Contoh sederhana, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh blogger, dengan mengisahkan apa yang ada di sekitarnya termasuk even, wisata, budaya, dan lain sebagainya kemudian dipublikasikan di blog, maka masyarakat tahu apa yang dituliskannya. Mengapa hal yang demikian tidak diimplementasikan untuk hal yang lebih global?

Misal, contoh yang cukup ekstrim, ketika ada wacana bahwa kantor departeman dan kementrian yang ada di kabinet presiden disebar ke seluruh Indonesia, selalu menjadi polemik. Kementrian dan departemen di bawah presiden ada tiga puluh dan semua ada di Jakarta. Menteri kehutanan ada di Jakarta padahal hutannya ada di Kalimantan, Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal pun ada di Jakarta. Di sisi lain, Indonesia memiliki 34 provinsi. Jika kantor kementerian dan departemen disebar merata di seluruh Indonesia, polemik yang sering terjadi selain infrastruktur adalah koordinasi. Bagaimana nantinya koordinasi antar kementrian? Pertanyaan yang bisa dibalik, apakah selama ini koordinasi antar departemen sudah baik, meski sama-sama di Jakarta? 

I'm Feelin' Lucky (lukisan tentang kehidupan kita yang erat dengan sosial media)

Sudah bukan zamannya lagi kita berkoordinasi dan berkomunikasi harus berada di meja yang sama. Kondisi yang sama di dunia jual beli, kita sudah tidak lagi harus bertatap muka antara penjual dan pembeli, yaitu denagn memanfaatkan online shop. Apakah koordinasi antar menteri juga bisa dilakukan dengan demikian? Apakah mungkin presiden rapat dengan semua menteri yang tesebar di seluruh penjuru negeri dengan memanfaatkan teleconference? Sangat naif jika kita menjawabnya dengan tidak mungkin. Sudah saatnya kita terhubung tanpa harus berada di meja yang sama.

Sebenarnya, jika kita melihat lebih dalam, TIK sudah dipergunakan oleh pemerintah. Contoh nyata adalah adanya eGoverment dan SID di tingkat desa. Akan tetapi, pengunaannya masih belum meluas untuk benar-benar menghubungkan kepulauan Indonesia. Alat-alat tersebut baru sebatas memperkuat daerah per daerah. Padahal kekuatan nasional jauh lebih besar daripada kekuatan satu daerah.

Kasus di atas hanya contoh. Intinya, sudah saatnya TIK menghubungkan Indonesia sebagaimana sedia kala. Dahulu nusantara dihubungkan oleh para pelaut dengan lautan sebagai medianya. Kini, kitalah pelaut itu dengan teknologi informasi sebagai medianya. Kita sejatinya terhubung secara batin dengan sesama Bangsa Indonesia. Tinggal kita melahirkan konektivitas yang masih bersifat batin tersebut melalui teknologi informasi.