Agregator Berita dan We-Media, Ada Karena Masalah

Di pekan kesembilan Liga Blogger Indonesia 2017 ini, admin melempar tema yang terkait agregator berita dan platorm menulis. Saya menduga bahwa ini ada kaitannya dengan eks peserta LBI yang juga pernah menjadi juara di musim 2014, Kang Didno, beberapa waktu lalu sempat diundang menjadi narasumber di acara Hitam Putih Trans7. 


Sekedar informasi saja, blogger yang baru absen di musim 2017 ini saja, ketika masih mengikuti LBI selalu konsisten menggunakan blogdetik sebagai platformnya, di taktiktek.blogdetik.com, meski blogdetik melakukan perombakan total yang bagi sebagian besar membuat tidak nyaman dan kabur dari sana. Meski Kang Didno tahu akan resiko tidak akan mendapat komentar (waktu itu komentar menjadi salah satu faktor terpenting dalam klasemen) tetapi ia masih bertahan di sana. Hingga kini, blogdetik miliknya pun masih terus ter-update dan tidak ada "saling memakan" dengan blog teknonya di didno76.com.

Agregator berita atau news aggregator sebenarnya bukanlah barang baru. Seingat saya, dulu ketika android belum semasif sekarang, beberapa ponsel dengan java MIDP (saya memakai sony ericcsson k530i) sudah membekali dirinya dengan fitur RSS feed. Fungsinya "memanggil" berita yang bertebaran di atas sana, tanpa kita masuk ke situs berita. Apalagi waktu itu belum semua portal berita bersifat mobile friendly.

Lalu dengan smartphone sebagai "teman hidup", portal-portal berita pun berlomba-lomba meluncurkan aplikasi mereka masing-masing. Detik, kompas, kontan, dan portal berita lainnya mengembangkan aplikasi yang isinya berita dari mereka. Pada dasarnya, mengurangi waktu dan ketidaknyamanan dalam mengakses berita dari browser. Misal ada tampilan yang rusak jika dibuka di browser, akan lebih nyaman jika dibuka di aplikasi.

Kini, fitur tersebut telah berubah. Kini, agregator berita tampil dengan lebih memanjakan pengguna. Dengan cukup menginstall aplikasi semisal ucnews, babe, kurio, dan lain sebagainya, kita tidak lagi perlu berputar-putar dari satu portal berita ke portal berita lainnya. Berita dari berbagai sumber ditampilkan dalam satu aplikasi saja. Kelemahan-kelamahan dari yang telah ada sebelumnya dihilangkan.

Ketika aplikasi berita masih dikembangkan oleh masing-masing pihak portal berita, kita harus menginstal banyak aplikasi. Ketika kita baru saja membuka berita di detik, kita ingin tahu berita di kompas, lalu membuka juga di kontan, dan seterusnya, kita harus berpindah-pindah dari aplikasi satu ke aplikasi lain. Ketika niat awal ingin menampilkan kenyamanan, justru ketidaknyamanan yang dihasilkan karena masing-masing portal berita memiliki strategi perang untuk memenangkan pasar berita. Jika demikian, tentu membuka berita di browser malah bisa menjadi pilihan. Dengan adanya satu aplikasi yang di dalamnya terdapat banyak berita dari berbagai sumber portal berita, pengguna bebas berselancar ke sana ke mari tanpa terbebani keribetan berpindah-pindah dari alamat ini itu atau aplikasi ini itu.

Bagaimana dengan blog? Di LBI2014 lalu, saya pernah menulis tentang konten marketing. Setiap blogger, terkhusus yang memiliki blog ber-niche, pasti menerapkan konten marketing. Mereka membuat konten sesuai dengan apa yang menjadi kompetensinya sekaligus dibutuhkan oleh pembaca. Tidak terlalu jauh sebenarnya dengan portal berita, tetapi ia, si blogger, memiliki sisi personal dalam menuliskannya.

Oleh karena ini, tidak ada salahnya jika agregator berita "merekrutnya" menjadi content maker di dalamnya. Sehingga kehidupan we-media pun tumbuh di dalam agregator berita. Agregator media menjadi meniru kehidupan platform menulis. Tetapi, perlu kita sadari bahwa si perusahaan pemilik agregator berita hanya berusaha menampilkan yang terbaik untuk konsumennya. Si blogger beserta portal berita juga berusaha untuk berlomba-lomba memperoleh keuntungan berupa kepercayaan dari pembaca juga mendapatkan keuntungan materi tentunya. Pembaca pun merasa dimanjakan karena berita yang mereka baca bervariasi baik dari sisi konten maupun dari sisi sumber.

Tidak perlu lah kita mendramatisasi mengenai pro kontra bergabungnya mereka para blogger dan content maker ke dalam sistem agregator berita. Mereka hanya menurunkan ego "keakuannya" agar bisa diterima sebagai content maker di perusahaan berita. Sama halnya dalam menerbitkan buku, bagi sebagian orang senang jika bukunya diterbitkan oleh penerbit mayor ada pula yang senang menerbitkan bukunya dengan cara indie.

Saya lupa kemarin siapa yang mengatakannya, memang benar dengan melihat masalah, kita bisa membangun startup. Atau kata Najwa Shihab, galau itu penting. Dengan galau, kita jadi bersikap dan action. Galau itu tidak untuk diratapi tapi ambil tidakan. Masalah muncul karena ketidaknyamanan dari pembaca berita harus berpindah-pindah dari portal berita satu ke portal berita lain. Itu pun masih ditambah tidak nyamannya karena tidak setiap portal berita tidak mendukung untuk dibaca secara mobile. Maka muncullah aplikasi dari masing-masing portal berita. Di sana masih muncul masalah karena kita harus berpindah-pindah dari aplikasi satu ke aplikasi lain. Maka muncul agregator berita.

Agregator berita yang bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut tidak boleh hidup stagnan dan terjebak dalam kenyamanan. Mereka merangkul blogger dan content creator agar aplikasinya hidup. Hidup karena konten terus mengalir dan hidup karena para content maker juga kadang membawa "pasukannya" sendiri yang bisa jadi menjadi pembaca setia. Menjadi dan melayani generasi millenial memang harus menurunkan ego. Dan menyelesaikan masalah adalah jiwa dasar dari start up, entrepreneurship, kewirausahaan, apa pun namanya itu. :)