Cinta Segiembek

Setelah beberapa kali posting dengan hal-hal serius, sesekali saya akan memposting sesuatu yang agak santai, sekedar intermezo, tapi ini based on true story alias kejadian nyata dan saya adalah pemeran utamanya. lalu mengapa judulnya "cinta segiembek"? itu diambil dari komentar teman dalam status eFBi saya. dan ini berkaitan dengan embek alias kambing dan kejadiannya pada bulan zulhijah atau hari raya qurban 1430H/2009. tulisan ini tidak bermaksud untuk riya' karena memang tidak ada hal yang bisa diriya'kan.

Kejadiannya bermula ketika saya dan rekan-rekan dari LDK Kodisia mengadakan qurban di dusun turgo. di sana kami mengadakan acara dua hari. di hari pertama, pada hari arafah, kami mengadakan acara dengan adik-adik TPA dilanjutkan malam hari takbir keliling dan pengajian dan pada hari kedua shalat ied dan penyembelihan hewan kurban. pada hari pertama, kambing-kambing pun berdatangan (tentu saja diantar oleh penjualnya langsung ke lokasi). ternyata ada satu kambing yang belum diantar ke lokasi karena saat itu shahibbul qurban tidak membeli pada penjual yang sama dengan kambing-kambing yang lain. alhasil kambing harus dijemput di rumah shahibbul qurban. setelah dialog antar panitia akhirnya saya dan teman saya (arif) yang akan mengambilnya. karena tidak ada mobil dan yang diambil hanya seekor, maka mengambilnya dengan menggunakan motor.

karena menggunakan motor, kami sudah siap mental akan memangku kambing itu dan baju pasti akan kotor. perlu diketahui, jarak antara rumah ke lokasi lebih dari 20 km dan dari tepian kota (jalan kaliurang km 6) hingga ke lereng gunung merapi. sesampai kami di komplek perumahan shahibbul qurban, ternyata hujan turun dengan derasnya. di motor arif hanya ada satu jas hujan model batman. kambing kami naikkan ke motor, mau tidak mau kambing yang basah akan air hujan harus saya pangku (karena arif sebagai pengendara motornya). karena jas hujan tidak bisa menutupi kami bertiga (arif, kambing, dan saya) akhirnya saya putuskan saya yang mengalah, kambingnya berjas hujan sedangkan saya hujan-hujanan. dengan jelas saya merasakan tetesan air bercampur bau kambing yang hangat menetes ke celana saya. meski sepanjang jalan kambing tersebut mengembik dan dilihat banyak orang (karena jalan kaliurang termasuk salah satu jalan teramai di jogja) muka tembok pun saya pasang. baru berjalan lima kilometer, hujan reda (lebih tepatnya di lokasi tersebut belum turun hujan), jas hujan dilepas deh. Sempat kami berhenti di boulevard UII dalam keadaan basah kuyup yang bau dan masih memangku kambing.

eh, kami harus berhenti di SPBU buat isi bensin. terpaksa deh loading-unloading alias bongkar-muat alias menurunkan lalu menaikkan lagi si kambing ke jok. bagi saya yang tidak terbiasa naik-turunkan kambing, itu termasuk pekerjaan yang berat. setelah kami berjalan, sekitar lebih dari lima kilometer sebelum sampai ke lokasi, hujan kembali turun. kali ini, karena sudah termasuk daerah lereng merapi, air hujan terasa sangat dingin, terutama karena saya sudah kedinginan sejak dari bawah. kembali air dari tubuh kambing menetes ke tubuh saya. saya juga harus mengalah dalam hal memakai jas hujan. yang pasti, selama perjalanan saya harus menahan bau kambing di depan muka saya. akhirnya sampai juga di lokasi. langsung kami mandi, entah bagaimana nasib si kambing karena sudah ada panitia yang mengurusi. meski sudah mandi, karena posisi saya yang memangku kambing dengan "romantis", bau itu tidak hilang bahkan sampai saya mandi dua kali di rumah (saya tidak mengikuti acara selanjutnya, saya pulang karena sudah terlalu bau). akhirnya saya baru datang lagi di hari ke dua.

kini, setiap bertemu arif khususnya ketika mendung atau hujan, kami ingat perjuangan saat itu. memangku kambing di tengah derasnya hujan. ada yang mau mencoba? ini ceritaku, apa ceritamu... hehehe ^_^