Mengaji sambil Belajar, Belajar sambil Mengaji

sudah lama saya ingin menuliskan mengenai beliau, salah satu guru matematika SMP saya, Pak Djaidun, tapi baru sekarang bisa menuliskannya mungkin karena ada stimulusnya. ketika kita berbicara tentang guru yang luar biasa, biasanya bayangan kita adalah guru yang harus menempuh perjalanan yang jauh, hanya menggunakan sepeda kayuh, berpenghasilan minim, dalam keadaan serba kekurangan (atau bisa dikatakan miskin), dan hal-hal negatif lainnya sebagaimana lagu Umar Bakri yang dilantunkan Iwan Fals. tapi, guru saya ini bukan seorang guru yang serba kekurangan bukan pula sebagai orang yang kaya raya. beliau bisa disebut hebat karena pengabdiannya dan ilmunya. ketika saya diajar oleh beliau, beliau termasuk guru yang sepuh. mengapa saya menyebut beliau hebat?


suasana berbeda sudah terasa ketika pertemuan pertama mata pelajaran matematika di kelas satu SMP. beliau menanyai kami siswa-siswi di kelas mengenai pelajaran apa yang paling kami anggap mudah. satu per satu siswa menuliskan pelajaran yang dianggap mudah di papan tulis. ternyata mayoritas dari kami menuliskan matematika, tidak terkecuali saya. saya bisa mengatakan matematika paling mudah karena memang nilai ebtanas saya adalah tertinggi dibanding pelajaran yang lain dan tertinggi di SD saya. meski beliau adalah guru matematika ternyata beliau malah menyangkalnya, tentu saja dengan cara yang halus atau kita sering menyebut dengan "elegan". beliau justru mengatakan bahwa pelajaran yang paling mudah adalah pelajaran agama. sebab dengan mengucap syahadat saja kita bisa masuk menjadi umat Islam.


beliau di kelas lebih dari sekedar guru matematika tapi justru menjadi ustadz. dalam mengajar di kelas, beliau tidak hanya mengajarkan matematika dengan rumus-rumus yang abstrak tapi juga belajar mengaji. setiap jam pelajaran matematika, meski hanya sebentar pasti digunakan untuk mengaji terlebih dahulu. jika sat pertemuan terdiri dua jam pelajaran, satu jam digunakan untuk mengaji sedangkan satu jam lainnya baru digunakan untuk pelajaran matematika. jika dalam satu pertemuan hanya satu jam pelajaran, ngajinya lima menit saja. secara "hukum" itu mungkin tidak boleh karena jam pelajaran matematika harusnya digunakan untuk pelajaran matematika bukannya untuk mengaji, tapi jika kita melihat dari sudut pandang yang lain, tindakan beliau tersebut bagus. pendidikan moral bukan saja tanggung jawab guru agama atau guru pendidikan kewarganegaraan, tapi seluruh guru yang mengajar termasuk siswa yang diajar. jadi, yang beliau lakukan adalah benar (setidaknya menurut saya).


mungkin sebagian dari kita akan berfikir bahwa dengan berkurangnya waktu belajar matematika materi yang dijarkan menjadi tertinggal. ternyata tidak. suatu kali saya ngobrol dengan salah satu siswa dari kelas lain yang tidak diajar oleh beliau, justru kelas kami lebih di depan daripada kelas mereka. mungkin itu adalah hasil dari mengaji sehingga otak kami lebih fresh ketika menerima pelajaran.


kadang saya merasa kasihan dengan beliau. dengan nafas tua beliau, kadang sakit, harus menghadapi kelakuan nakal yang sedang beranjak remaja. kadang terliahat beliau ingin marah tapi tidak tersampaikan. beliau tetap sabar mengajar kami.


suasana yang sangat mengharukan adalah ketika acara purna tugas beliau yang bertepatan dengan acara perpisahan kelas 3. beliau berkesempatan menyampaikan salam perpisahan bagi para hadirin. salah satu yang tidak bisa saya lupakan dari yang disampaikan beliau adalah "memberi itu harusnya didahulukan daripada meminta, oleh karena itu saya lebih dahulu memberi maaf jika anak-anak ada salah kepada saya". demikian sedikit yang disampaikan sambil meneteskan air mata.


semoga ilmu yang beliau berikan baik ilmu matematika ataupun ilmu agama dapat kami manfaatkan sebaik-baiknya. semoga air mata beliau tidak menetes percuma. semoga beliau husnul khatimah di sisi-Nya. Aamiin.


___________
meski tulisan ini diikutsertakan dalam lomba, tapi tidak mengurangi rasa hormat saya kepada beliau.