Satu Komando [part 2]

ini adalah lanjutan dari part 1 yang entah sudah berapa tahun yang lalu. seberapa sering kita mendengar "Indonesia tidak memiliki pemimpin yang baik"? sering sekali bukan? bahkan dengan atau tanpa kita sadari, kita sering mengucapkan baik secara lisan maupun dalam hati kita. tetapi, sejauh mana kita bertanya pada diri kita "layakkah kita dipimpin oleh pemimpin yang baik?" dan "sudahkan kita menjadi rakyat yang baik?". bisa saja mereka para pemimpin kita berkata "saya tidak punya rakyat yang baik". sah-sah saja bukan?


hidup kita ibarat pertandingan sepak bola, meskipun dunia sepak bola kita sedang kacau. di dalam sepak bola, selain ada dua tim yang bertanding, ada satu wasit dan dua linesman. wasit sering kali disebut pemimpin pertandingan. coba saja anda mendengarkan apa yang disampaikan oleh komentator pertandingan, "pertandingan ini akan dipimpin oleh wasit X", iya kan? ketika ada pelanggaran yang terjadi, wasit pasti akan menyemprit dan tidak segan-segan memberi sanksi (seharusnya demikian). dalam sepak bola sudah ada aturan yang berlaku yang harus ditaati oleh setiap pemain. wasit bukanlah yang membuat peraturan melainkan hanya menjalankan tugas agar aturan dapat ditegakkan.


kita hidup bermasyarakat juga demikian. kita punya pemimpin dan sering kali aturan yang ada tidak semata-mata dibuat oleh pemimpin tersebut. sebut saja lembaga legislatif yang anggotanya kita pilih bersama di pemilu. kemudian sang wasit adalah presiden atau gubernur atau bupati atau bahkan hanya kepala dusun. mereka, para pemimpin hanya mematuhi apa yang telah dibuat oleh para legislatif. bagaimana jika ada pelanggaran? tentu kita harus menerima sanksi. para penegak hukum di negeri ini berbagai macam bentuknya, ada kepolisian, kejaksaan, atau macam-macam lainnya (saya ga hafal), termasuk KPK.


sering kita mengikuti aturan bukan karena kita patuh tapi karena takut dengan penegak hukum. misal yang sangat sederhana, kita berkendara motor memakai helm bukan karena apa yang dimaksudkan dalam peraturan yang kurang lebih karena untuk keselamatan, melainkan karena ada polisi. ketika ada polisi dan ketahuan tidak memakai helm, alasannya buanyak banget. begitu juga dengan menerobos lampu merah (pengalaman pribadi), alasannya karena lagi sepi. ya kalau memang benar-benar sepi. jika ternyata yang punya hak lampu hijau sedang menunaikan haknya dan kita menerobos lampu merah, yang sengsara bukan cuma yang menerobos tapi orang lain juga kena.


sering kali saya jengah dengan sikap saudara-saudara kita yang jelas-jelas melangagr aturan tapi masih saja suka ngeles. mending kalau ngeles dan sehari kasusnya selesai, coba lihat kasus di tv, diduga korupsi ngelesnya bertahun-tahun, sudah menghabiskan banyak uang ternyata nyata-nyata terbukti. mbok iyao kalau memang bersalah itu jangan kebanyakan ngeles. begitu juga dengan kasus pemilu/pilkadal (pemilihan kepala daerah langsung), jika ada pihak yang kalah tidak mau menerima kekalahannya bukannya introspeksi malah berusaha menjatuhkan pihak yang menang. bahkan tidak sedikit yang melakukan tindakan anarki. protes secara hukum memang diizinkan. sayangnya, banyak pihak yang tidak mau mematuhi keputusan hukum. tidak sedikit dari mereka yang justru berbuat anarki kepada pihak komisi pemilihan umum.


mereka, para pemimpin dan hakim, adalah wakil Tuhan di bumi. di tangan mereka keadilan ditegakkan. karena mereka adalah wakil Tuhan, kita sebagai rakyat harus mematuhinya. bagaimana jika kebijakan dan keputusannya salah? pernah saya membaca buku (lupa judulnya karena bacanya sudah bertahun-tahun yang lalu) dan banyak buku atau tausiyah yang mirip dengannya. kisah Umar bin Khattab pun ada yang mirip dengan hal tersebut, sinetron pun banyak yang demikian. ada tokoh sebut saja fulan yang mendapati seseorang meninggal dunia dalam keadaan pisau tertancap di tubuhnya. tidak ada yang tahu siapa yang membunuh orang tersebut. si fulan kemudian mencabut pisau tersebut. apa yang terjadi? ia dituduh sebagai pembunuhnya dan dihukum mati. apakah sang hakim salah? karena si fulan tidak bisa menunjukkan bukti dan saksi bahwa ia tidak membunuh padahal pisau pada dirinya maka ia tidak bisa mengelak lagi. kita harus ingat bahwa hidup di dunia tidak akan selamanya, alam akhirat menanti di depan kita. di sanalah nanti siapa yang membunuh orang itu yang akan mendapatkan balasannya. itulah salah satu tujuan (kalau ga salah begitu) diciptakannya surga dan neraka.


kita harus dan tidak boleh ragu bahwa Allah adalah wasit sekaligus pembuat aturan dari segala kehidupan di dunia. semua kasus di atas berkaitan dengan kepatuhan kita dengan pemimpin maupun hakim di dunia. bagaimana pun mereka dan kita adalah makhluk Allah dan sudah seharusnya kita bersikap sebagai makhluk yang baik. sering dari kita lebih mengedepankan aturan yang dibuat oleh sesama makhluk padahal bertentangan dengan aturan Allah. kita sering mendewa-dewakan hak asasi manusia tapi kita melupakan kewajiwan asasi manusia.jika memang demikian, jangan salahkan Allah jika kita tidak mendapatkan keridhaan dalam kehidupan sehari-hari.


kembali, sejauh mana kita menjadi rakyat yang baik? atau layakkah kita dipimpin oleh pemimpin yang baik? kita pasti mengnginkan dipimpin oleh pemimpin yang baik dan bukanlah pemimpin yang dzalim. agar hidup kita menjadi sempurna, marilah kita menjadikan diri kita pemimpin yang baik bagi diri kita sendiri dan dalam waktu yang bersamaan kita menjadi rakyat yang baik bagi pemimpin kita.