Kampanye Calon Dewan, Tapi kok Egois?

pemilu legislatif tinggal kurang dari dua bulan lagi. para calon anggota legislatif kini semakin gencar memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. ada yang memasang baliho segede gaban, ada yang maraton masuk kampung-kampung, ada yang blusukan, ada yang gencar melakukan bakti sosial, dan masih banyak cara yang mereka lakukan demi mendulang suara, termasuk bagi-bagi uang baik kepada masyarakat maupun kepada ular (baca juga tulisan tentang politik ular). tapi saya merasa mereka terlalu egois untuk disebut sebagai calon anggota dewan.


mungkin terlalu sarkastis ketika saya menyebut "egois", tapi sistem yang berlaku saya rasa memang begitu. saya menyebut egois karena memang mereka yang menjadi caleg ketika berkampanye tidak mencerminkan sikap kedewanan tetapi lebih menonjolkan kesendiriannya. sadar maupun tidak, ketika mereka nanti berada di dewan perwakilan rakyat baik di pusat maupun daerah, mereka harus berbicara "ini kami" bukan "ini gue". sebab, mereka bekerja secara kedewanan bukan sendiri-sendiri. mereka cenderung saling sikut antar caleg.


ketika kampanye, mereka bermain sendiri-sendiri. lalu partai untuk apa? sepertinya hanya sebagai simbol dan kendaraan politik semata. mereka hanya akan bilang "saya caleg dari partai merah" tapi tidak tahu arah kerja di partai merah itu seperti apa atau mereka menerjemahkan sendiri dengan versi mereka sendiri mengenai partai merah. mereka lupa kalau dari partai merah juga ada caleg yang lain.


blusukan, baliho, bagi-bagi amplop, lebih cenderung "ini gue". kalau nanti sudah terpilih juga "terserah gue", "lo gue end". ketika berkampanye, mereka akan mengatakan "nanti saya akan memperjuangkan kebutuhan anda", padahal ketika sudah jadi anggota dewan mau bersuara sekeras apa pun aleg bersuara tetapi aleg yang lain tidak menyuarakan atau bahkan menolah suara aleg ini, maka hanya akan menjadi angin lalu. misal dalam pembahasan di DPRD sedang membicarakan perlu tidaknya lokalisasi prostitusi. seorang aleg mengatakan menolak, tetapi secara mayoritas anggota dewan mengatakan setuju, maka suara yang ia berikan kalah dan aleg ini harus mematuhi suara terbanyak.


ketika mereka nanti sudah ada di dewan, mereka tak bisa hidup sendirian. pengambilan keputusan dilakukan dengan cara (yang katanya) demokratis, dimana mengutamakan suara terbanyak. untuk mengamamkan suara, maka suara satu partai harus padu dan harus ada suara dari partai lain. ketika seorang anggota dewan mengatakan "tidak" sedangkan partainya mengatakan "ya" maka suara satu orang ini hanya menjadi "sampah" dan posisinya bisa berada di ujung tanduk sebagaimana yang pernah terjadi di masa lampau.


jadi menurut saya, jika memang mau kampanye caleg, berkampanyelah layaknnya sebuah tim bukan orang per orang sebagaimana kampanye presiden atau kepala daerah. kampanye presiden atau kepala daerah lebih menjual satu pasang calon. sedangkan kampanye caleg harus menjual satu kesatuan, dalam hal ini yang paling realistis adalah menjual nama partai.


ketika kampanye sebaiknya bukan dilakukan sendiri-sendiri melainkan bersama. jika dalam satu daerah pemiliha (dapil) ada delapan orang caleg dari satu partai, jika kedelapan orang tersebut terpilih menjadi aleg maka kehidupan di dewan akan semakin ringan daripada hanya terpilih satu orang saja.


ketika semua caleg dalam satu partai dan satu daerah pemilihan berkampanye serentak dan bersama dalam satu tempat, maka masyarakat akan tahu bagaimana orang-orang di partai itu bekerja. mereka bisa menilai dari calon yang ada apakah benar-benar calon yang berkompeten. masyarakat bisa melihat dan menilai mana calon yang suka melempar kesalahan, suka bekerja, suka "membunuh", dan lain sebagainya.


dalam kampanye yang demikian, saya rasa bisa sedikit menghemat biaya karena jika uang dari masing-masing caleg dikumpulkan seperti iuran maka akan lebih hemat daripada masing-masing mengeluarkan untuk acara sendiri-sendiri. di sini, peran pengurus partai juga ada agar satu dengan yang lain tidak saling sikut bahkan saling bunuh.


sistem yang demikian selain suatu partai berpeluang memperoleh kursi yang banyak, tetapi juga berpeluang tidak memperoleh kursi sama sekali. ketika brand sebuah partai sudah buruh di mata masyarakat, maka mereka juga tidak akan memilih satu pun caleg dari partai yang bersangkutan.


sebenarnya tidak ada alasan bagi anggota dewan untuk bersikap sok pahlawan kesiangan. hal ini sering terjadi di hari yang lalu. contoh paling nyata, ketika diadakan studi banding ke luar negeri, maka akan ada aleg atau partai yang mengatakan "saya menolak dengan tegas" tapi faktanya teman-temannya tetap pergi ke luar negeri. mau menolak atau setuju, ketika putusan yang ada telah dilakukan, maka suara sok pahlawan kesiangan ini tidak ada gunanya.


Anda seorang caleg? atau masih menjadi anggota dewan dan ingin nyaleg lagi? silakan kalau mau menyanggah tulisan saya ini. saya hanya merasa bahwa anggota dewan itu buka presiden yang bisa "seenaknya" menggunakan otoritasnya tetapi sebuah sistem yang terikat antara satu orang dengan orang yang lain. nyalon? cucok deh... :D