Macet, Polisinya Mana Sih?

Ketika kita di jalanan, ada kondisi jalan yang semrawut atau bahkan macet, kita pasti akan bertanya "Polisinya mana sih?". Polisi akan selalu identik dengan jalan meski tugas polisi bukan hanya di urusan lalu lintas. Urusan keamanan lingkungan sekitar, kita mencari surat untuk urusan pekerjaan pun ke kantor polisi, bahkan urusan wisata pun polisi berperan di sana. tapi ketika kita berbicara tentang polisi yang ada di benak kita adalah lalu lintas, dan sebaliknya.

macet, polisi mana?

Urusan lalu lintas bukan hanya ada pada polisi. Dishub (atau dishubkominfo), jasa raharja, dan banyak pihak lainnya ikut berperan dalam kehidupan lalu lintas jalan raya. Tetapi yang ada di lapangan adalah polisi, jadi semua terlihat adalah polisi yang "berkuasa" di jalan raya. Dan kita juga harus ingat, tertib atau tidaknya jalan raya yang paling mempengaruhi adalah kesadaran dari masyrakat itu sendiri. Mau dibuat aturan sekejam apa pun, jika mental masyarakatnya sudah bebal, maka aturan itu menjadi tidak ada artinya.

Saya belum pernah tinggal di Jakarta. Saya saat ini berdomisili di Solo yang sebelumnya saya berasal dari Jogja. Jadi saya tidak tahu bagaimana rasanya macet di Jakarta dan saya tidak bisa menilai apa penyebab macet Jakarta. Yang saya tahu dari media massa, Jakarta itu kota yang macetnya parah. Tetapi, ketika saya pindah dari Jogja ke Solo, saya merasakan kehidupan jalan raya yang berbeda. Di solo saya juga merasakan macet meski rasanya berbeda dengan macet di Jogja. Maaf (kepada warga Solo) saya tidak bermaksud mendiskretkan Solo dalam hal macet karena saya saat ini juga warga Solo :) .

Dari sudut pandang saya, ada banyak penyebab kemacetan. Di beberapa tempat, saya rasa bukan hanya di Solo, masih banyak yang tidak suka menunggu lampu merah, tidak mau berhenti di belakang garis marka. Ketika dirasa kondisinya aman dan tidak ada polisi, teroboslah lampu merah itu. Aksi yang berbahaya sekali. atau setidaknya, ketika tidak memungkinkan, ketika di lampu merah bukannya di belakang garis marka tetapi beberapa meter di depannya bahkan memakan tempat bagi pengguna jalan yang lampunya hijau. ada atau banyak pula yang belum hijau atau sudah merah, karena jaraknya hanya beberapa detik, maka terobos juga. 

Akibat dari aksi-aksi tersebut menghambat laju kendaraan yang berhak. Bahkan ketika terjadi kecelakaan, dipastikan menghambat arus lalu lintas. Dan kemacetan pasti terjadi. Apakah polisi tidak tahu? Saya berulang kali mendapati kondisi yang demikian dan polisi hanya mendiamkan. Saya menjadi serba salah, mau tertib berada di belakang marka tetapi diklakson terus dari belakang, di sisi lain ketika mau ikut menerobos berarti saya ikut tidak bersikap tertib. Pak polisi mana?

Mencari-cari mana polisi juga terjadi ketika di persimpangan yang tidak ada lampu merahnya dan tidak ada petugas yang berjaga di sana, baik itu polisi cepek maupun polisi beneran. Di banyak titik persimpangan, pengguna jalan tidak mau saling mengalah. ada yang dari utara, selatan, barat, timur bertemu jadi satu di tengah persimpangan tidak mau memberikan jalan kepada pengguna lain. Efeknya tentu saja macet karena simpul "pertikaian" di persimpangan tidak segera berakhir dan berefek pada kendaraan di belakang justru menunggu. Berbeda dengan yang saya rasakan di beberapa tempat di Jogja, pengguna jalan dari utara dan selatan akan berhenti ketika arus dari barat dan timur berjalan. ketika kondisi cukup aman maka mereka gantian jalan dan di arah lain berhenti untuk memberi kesempatan. begitu seterusnya, dan itu terjadi tanpa ada lampu dan tanpa ada petugas.

Sebenarnya saya lebih berharap kepada mental pengguna jalan untuk mau menghargai satu dengan lainnya tanpa terlalu terikat dengan aturan tilang, polisi, lampu, dan lain-lain. Revolusi mental yang digaungkan presiden jokowi seharusnya juga ikut membumi. Tetapi terkait dengan polisi, banyak harapan saya mengenai kehidpupan di jalan. Kita ingin polisi ada di setiap kita butuh tanpa perlu kita panggil. Jika perlu semua persimpangan atau titik-titik ramai, baik berlampu APILL maupun tidak, selama 24 jam dan selama setahun full ada polisi yang berjaga. Jika ada pengguna jalan yang tidak mematuhi aturan dalam bentuk apa pun, semprit saja. jika ada yang berhenti di lampu merah dan tidak di belakang marka, suruh dia untuk mundur. Jika ada yang parkir sembarangan, langsung disuruh pindah. Dan saya berharap selama setahun penuh karena jika hanya momen insidental semacam operasi zebra, kebiasaan yang buruk belum bisa berubah.

Dan saya berharap kepada para polisi juga ikut berbenah. Kadang kita dapati foto di twitter, ada polisi yang berkendara roda dua tanpa helm, ada polisi yang di persimpangan berlampu APILL tidak mau berhenti di belakang marka, dan pelanggaran-pelanggaran lain. Seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikan mereka, polisi, karena merekalah penguasa jalan. Polisi, baik ketika mengenakan seragam maupun tidak, menjadi pelopor berlalu lintas yang baik. Ketika seorang polisi sudah bersikap baik, ia harus menularkan kepada keluarganya dan orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada akhirnya nanti, kesadaran berlalu lintas bukan hanya menjadi wacana.

Pernah ada kejadian unik, mengesalkan, tetapi juga salut yang dialami oleh salah satu teman. Di pasar, yang sebenarnya jalan searah, teman saya mengendarai kendaraan roda empat melawan arus. Di tengah jalan bertemu polisi dan teman saya itu tidak diperbolehkan maju melainkan harus mundur. Memang karena di pasar, jadi tidak ada tempat untuk putar balik. Alhasil teman saya harus mundul puluhan meter. Mengemudi mundur bukan sesuatu yang mudah tetapi itulah hukuman yang harus diterima karena melanggar.

Polisi bukan satu-satunya yang berwenang di jalan. Tetapi begitu ada masalah di jalan, yang dicari pertama adalah polisi. Jadi sebelum ada yang berucap "Polisinya mana?", seharusnya polisi sudah ada di sana dan benar-benar bertugas bukan hanya nongkrong. Karena polisi adalah garis depan pelopor tertib berlalu lintas. :)