Belajar Ekonomi Digital di Santripreneur 2016

Sudah terlalu mengendap di draft, tapi tak mengapa daripada tidak jadi dipublish. Beberapa waktu lalu, tanggal 29 September 2016 (ternyata sudah sebulan berlalu, hehe) saya mengikuti talkshow mengenai ekonomi digital sebagai landasan ekonomi kekeluargaan yang diadakan dalam rangkaian santripreneur 2016. Materi talkshow ini disampaikan oleh Bpk Victor Rindanaung, CEO Maverick Avenue dan My-Coconut.

Victor Rindanaung Belajar Ekonomi Digital di Santripreneur 2016

Beliau mengawali penjelasannya mengenai tren kehidupan digital kita yang semakin tahun semakin masif. Dunia digital, yang dalam beberapa dekade silam tidak terbayangkan bagaimana bentuknya, kini telah mengubah segalanya. Jika dibandingkan dengan media-media lain, kekuatan internet untuk menjangkau dan mengumpulkan perhatian orang jauh lebih cepat. Dan yang semula ojek dipandang sebelah mata, kini dengan adanya internet banyak orang rela antri untuk menjadi driver ojek online.

Berkehidupan ekonomi di dunia digital sebenarnya tidak jauh berbeda, bahkan hanya merupakan pengembangan dari ekonomi di dunia nyata. Konsep 4P di dalam ekonomi yang selama ini kita kenal: Product, Price, Place, dan Promo tetap ada. Yang membedakannya adalah sekarang berada di ranah yang lebih luas melalui jangkauan internet.

Produk, merupakan alasan pertama dan terakhir konsumen berbelanja. Sebaik apapun kita berjualan, jika produk tidak sesuai dengan keinginan konsumen, maka mereka akan pergi meninggalkan kita. Jangan pernah membohongi kostumer dengan produk. Jika kita berjualan online, gambar produk dengan bentuk produk haruslah sama. Pengemasan pun juga harus diperhatikan. Jika pengemasan produk selama pengiriman tidak diperhatikan sehingga barangnya hancur, sama saja kita menghancurkan usaha kita sendiri.

Price, merupakan bagaimana kita "memainkan" harga agar sesuai dengan produk serta kostumer kita. Dalam hal produk, kita mengenal perceived value dan actual cost. Jika kita memiliki barang yang harganya mahal dan biayanya tinggi tetapi kostumer menilai bahwa barang itu adalah barang yang murah dan murahan, maka perceived value-nya rendah. Demikian sebaliknya kita memiliki barang yang murah tetapi persepsi masyarakat mengenai produk kita adalah produk mahal, maka barang itu perceived value-nya tinggi. Jadi, tantangan kita adalah bagaimana jika kita memiliki barang yang sebenarnya harganya hanya 5000 rupiah tapi bisa kita jual dengan harga 300.000 rupiah.

Place, merupakan tempat kita menjual barang. Di dunia online, banyak dari kita yang menjualnya di blog, line, instagram, facebook, WA, atau di marketplace semisal zalora, lazada, dan lain sebagainya. Jadi, place di sini hanya memindahkan tempat menjual dari kios di ruko ke kios online.

Promotion, bagaimana kita memperkenalkan produk kita kepada kostumer. Kesalahan kita dalam berbisnis online, kita hanya menggunakan sosial media untuk semua urusan. Misal kita memiliki facebook page untuk bisnis online, kita memajang foto produk di sana, menanggapi keluhan konsumen juga disana, berjualan juga di sana. Padahal, kita harus memetakan apa yang harus kita lakukan dan dengan alat apa.

Digital communication mapping Belajar Ekonomi Digital di Santripreneur 2016

Sebagaimana di gambar, kita memisahkan urusan dalam beberapa sosial media. Setidaknya ada empat hal yang perlu kita petakan, branding, product info, PR dan costumer service, dan selling. Misal kita menggunakan twitter untuk membranding produk kita. Di sisi lain, facebook instagram kita gunakan untuk memajang gambar-gambar produk. Di bagian branding dan product info ini, kita jangan sesekali menjual barang maupun menanggapi keluhan konsumen. Jika mereka akan membeli barang, kita paksa mereka untuk membeli di WA atau marketplace. Dan jika mereka menyampaikan keluhan, giring mereka ke bagian costumer service semisal dengan Line.

Harus memiliki banyak karyawan dong? Tidak juga. Misal ada orang tua berbisnis batik, bisa saja dua anaknya diajak untuk ikut berbisnis terutama di sosial media. Satu anak (sebut saja A) memegang peranan branding dan product info dan anak yang satunya (B) mengurusi jual beli serta costomer service. Perlu diingat, si A tidak boleh ikut campur dalam urusan jual beli maupun menanggapi keluhan konsumen karena itu kewenangan si B. Begitu pula sebaliknya, si B hanya bertugas menjual barang dan menanggapi keluhan konsumen. Maka di sini telah terjadi kegiatan ekonomi berbasis kekeluargaan.

My coconut Belajar Ekonomi Digital di Santripreneur 2016

Bpk Victor Rindanaung merupakan CEO Maverick Avenue dan My-Coconut. My-Coconut merupakan salah satu marketplace yang (katanya akan) di-launch di bulan Oktober ini. Tetapi sampai sekarang saya buka webnya masih belum aktif. Marketplace My-Coconut ini sistem kerjanya jauh lebih luas daripada marketplace yang sudah ada, karena menggabungkan sistem bisnis B2B, B2C, dan C2C. Jadi kita selain bisa melakukan jual beli dengan sesama masyarakat awam, kita juga bisa melakukan transaksi dengan perusahaan bisnis. Dan tidak menutup kemungkinan jika kita memiliki produk, bisa kita jual ke perusahaan bisnis. Jadi, kita tunggu saja bagaimana nantinya jika My-Coconut ini sudah benar-benar di-launch.

Dunia online telah mengubah segalanya. Kita jual beli pun sudah tidak selalu harus keluar rumah. Tugas kita adalah bagaimana kita juga ikut menikmati kehidupan online ini dengan menjadi wirausaha. Satu dekade silam tidak terbayangkan bagaimana masifnya kehidupan online ini. Dan kita pun harus siap dengan kehidupan satu dekade yang akan datang karena bisa jadi jauh lebih masif daripada yang ada sekarang. :)