Seminar Batik, Kuasa dan Identitas Museum Sonobudoyo

Setiap tanggal 2 Oktober setiap orang di Indonesia merayakan hati batik nasional dengan cara mengenakan pakaian batik. Hal ini mengingat pada 2 Oktober 2009 lalu UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya non bendawi. Batik telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat. Bukan saja motifnya yang menarik dan penuh filosofis tetapi juga penciptaan karya batik yang khas dengan canting dan malam panasnya. 

Tari golek ayun ayun hiburan Seminar "Batik, Kuasa dan Identitas" Museum Sonobudoyo
Tari golek ayun ayun sebagai mewarnai jalannya seminar

Hari batik nasional 2018


Hari batik tahun 2018 ini bertepatan dengan penyelenggaraan Jogja International Batik Biennale, Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta menyelenggarakan seminar "Batik, Kuasa dan Identitas". Dengan menghadirkan Ibu Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum sebagai keynote speaker, beliau menyampaikan bagaimana motif-motif batik pakualaman merupakan hasil transformasi iluminasi naskah. Beliau menyampaikan bahwa naskah-naskah khususnya yang ada di perpustakaan pakualaman telah ada sejak lama, sekitar 200 tahun yang lalu. Naskah-naskah tersebut telah termakan oleh zaman, dimana jika kertasnya adalah kertas yang berkualitas rendah maka sangat rentan rusak. Naskah-naskah yang berluliskan aksara jawa itu harus dipublikasikan ke masyarakat luas, salah satunya dalam bentuk batik. 


Mengapa perlu disebarluaskan? Karena naskah-naskah tersebut hadir dengan berbagai nilai, sejarah, dan ajaran. Sebagai contoh, kain selendang yang dipakai oleh pembicara adalah batik Sestra Lukita yang berasal dari naskah arjunawijaya. "Ses" artinya rasa yang dalam, "tra" berarti sarana yang nyata, maksudnya segala sesuatu yang didengar, dilihat, maupun dialami sendiri. "Lukita" berarti untaian kata. Lukita Papaning Sestra memuat ajaran sestradi (21 sikap), antara lain sabar, syukur, narimo (menerima), enget (ingat), gemi (hemat), dan lain-lain. Bentuk motif batik ini adalah nilai-nilai tersebut berupa tulisan aksara jawa dan latin tersemat jelas dalam kain. Pembicara memberi contoh gemi atau hemat bagi kita cenderung dimaknai hemat dalam hal harta. Tetapi di sisi lain, dahulu hemat dimaksudkan dalam hal berbicara. Yah kalau sekarang menahan diri untuk berucap dan menggerakkan jari di sosial media. 

Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum keynote speaker batik kuasa dan identitas museum sonobudoyo
Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum sebagai keynote speaker
Acara dilanjutkan acara pemaparan materi yang disampaikan oleh tiga orang narasumber. Dra. DS. Nugrahani, M.A. dari departemen arkeologi FIB UGM sekaligus dari Paguyuban Pecinta Indonesia Batik Sekar Jagad menyampaikan bagaimana sejarah motif-motif batik berasal dari tinjauan arkelogis. Bagaimana masih debatable-nya sejarah batik itu sendiri. Ada literatur yang menyampaikan bahwa batik berasal dari India, dimana di sana ada kalamkari semacam menulis motif batik tetapi itu bukan batik. Dan, kalamkari sudah dinyatakan punah. Di masa lampau, masyarakat nusantara sudah mengenal istilah nyerat tetapi belum cukup literatur apakah itu membatik. Beliau juga menyampaikan tentang motif-motif kain yang ada di ada di arca-arca menyerupai kain batik. Ada banyak sumber informasi yang tersebar secara parsial tetapi sulit untuk menghubungkan satu dengan lainnya. Itulah mengapa masih banyak pekerjaan rumah dalam menelusuri sejarah batik.
Ibu Mari Condronegoro, S.S dari keraton Yogyakarta (meskipun beliau menyampaikan dalam kapasitas pribadi, bukan mewakili keraton, menyampaikan tentang batik larangan. Batik-batik tersebut seyogyanya tidak digunakan ketika kita masuk ke dalam keraton, meskipun kita sebagai masyarakat biasa boleh memakainya. Tetapi bagi abdi keraton itu adalah sebuah larangan. Batik larangan mencakup motif parang, kawung, huk, semen. Beliau juga menyampaikan bagaimana nilai filosofis motif-motif tersebut. Contohnya motif kawung dapat berarti kiblat papat lima pancer yang berarti sumber energi berasal dari empat penjuru mata angin dengan pusat adalah sangkan paraning dumadi. Arti lain motif kawung ini berbentuk buah kolang kaling yang bermanfaat bagi manusia, harapannya orang yang memakainya juga bermanfaat bagi sekitar.

pembicara seminar "batik, kuasa dan identitas"
pembicara seminar "batik, kuasa dan identitas"
Contoh motif kawung, huk, semen, dan slobok
Contoh motif kawung, huk, semen, dan slobok
Pembicara juga mengkritisi bagaimana kesalahan dan menyayangkan ketidaktahuan masyarakat terkait pakaian keraton dan pemakaian motif batik. Contoh ketidaktahuan yang membuat miris juga menggelikan adalah pemakaian motif parang. Di dalam keraton, ukuran parang paling besar adalah 20 cm dan itu pun hanya dikenakan oleh raja. Selebih dari 20 cm kalau di pewayangan digunakan oleh "buto". Lha di masyarakat kita banyak lho yang mengenakan motif parang yang buesar-buesar lebih dari 20 cm, jangan-jangan..., hehe. Contoh lain adalah penggunaan motif slobok yang mana motif itu digunakan sebagai lurup alias penutup jenazah atau peti jenazah. Lha, sekarang banyak baju yang bermotif slobok, hehe. Juga beliau mengkritisi bahwa seharusnya jangan samakan pemakaian pakaian adat anak-anak dengan orang dewasa. Anak-anak ketika memakai pakaian adat jangan sampai kehilangan kebebasan mereka dalam bermain-main. Meskipun mereka memakai pakaian adat, mereka tetap bisa berlarian kesana kemari. Jika mereka sudah merasa tidak nyaman ketika mereka memakai pakaian adat, akan ada trauma mereka terhadap pakaian adat, dan di kemudian hari mereka susah untuk diajak memakai pakaian adat.

Ir. R Jati Nurcahyo, M.M. dosen Universitas BSI Pariwisata Yogyakarta menyampaikan tentang batik Bahari Nuswantara dimana motif tersebut mengandung unsur garuda, berbagai bentuk perahu layar, serta fauna sebagai sumber daya alam. Motif ini terinspirasi dari Ibu Susi, Menteri Kelautan serta visi DIY yaitu "Menyongsong abad samudera hindia untuk kemuliaan martabat manusia Jogja". Batik ini dikerjakan dengan teknik rining atau kumpulan titik yang membentuk serupa garis. Pembicara juga menyampaikan bagaimana mendaftarkan hak cipta batik tersebut ke kemenkumham. Selanjutnya beliau menyampaikan secara singkat bagaimana mendaftarkan hak cipta dan paten terkait batik.

Batik Bahari Nuswantara
Berbicara tentang batik memang tiada habisnya. Dari sisi sejarah, perkembangan, filosofis, produksi dan industrialiasi, dan lain sebagainya. Pembahasan tentang batik pun dapat dilakukan oleh banyak pihak. Sebagaimana acara tersebut dihadiri oleh banyak kalangan baik pemerhati batik, komunitas baik batik maupun museum, akademisi, bahkan saya sempat berkenalan dengan mbak Karunia dan mbak Ophelia dua mahasiswi dari medan yang tengah kuliah di jurusan Kesehatan Masyarakat salah satu perguruan tinggi di Jogja. Batik, kuasa dan identitas memberikan pelajaran kepada kita tentang perjalanan panjang sejak zaman dahulu, kini, dan masa yang akan datang. Pembahasan tentang batik pun akan selalu ada sampai kapan pun selama batik itu masih ada. Lain kali kita bahas hal lain tentang batik.