Halal Tourism (Wisata Halal), Apa dan Bagaimana?

Wisata halal atau halal tourism memang sedang menjadi perbincangan hangat. Terlebih ketika Indonesia memperoleh penghargaan di ajang World's Best Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi, UEA beberapa waktu lalu. Materi mengenai wisata halal atau halal tourism memang bukan lagi sekedar isu lokal-nasional melainkan sudah menjadi pembahasan regional-internasional. Wisata halal merupakan pembahasan yang global tetapi secara praktis sangat terkait dengan wilayah yang menyentuh hingga akar rumput.

wisata halal Halal Tourism, Apa dan Bagaimana?

Wisata halal adalah


Halal tourism atau wisata halal seringkali disamakan dengan Islamic tourism (wisata religi Islami). Memang ada kesamaan dan ada pula perbedaannya. 

Wisata Islami lebih terlihat sebagai wisata dalam rangka meningkatkan sisi keislaman, semisal wisata yang dibarengi umrah, wisata terkait kebudayaan Islam, ziarah, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk wisata halal tidak terbatas pada itu saja, tetapi sama-sama dalam satu koridor tidak meninggalkan aspek syariat Islam. Dalam praktiknya, halal-haram tetap diperhatikan.

wisata halal adalah perjalanan wisata, tidak terbatas pada perjalanan religi, tetapi di dalamnya praktiknya menjalankan aspek syariah Islam, semisal dalam hal makanan, ibadah, pakaian, batasan pria-wanita, dan lain sebagainya.

Pasar wisatawan muslim memang sangat besar. Pendapatan global dari wisatawan muslim pada 2011 diestimasi pada $ 126 milyar, atau 12.3% dari total pendapatan wisata global. Di tahun tersebut diperkirakan bahwa wisatawan timur tengah dan afrika utara menyumbang sekitar 60% dari total belanja muslim global. Dan di tahun yang sama, Arab Saudi merupakan penyumbang sumber wisatawan terbesar dengan pengeluaran wisatawan sekitar $ 23,8 milyar, diikuti oleh Iran, UEA, Indonesia, dan Kuwait.

Wisata halal pun sudah bukan lagi monopoli milik negara muslim. Negara-negara dengan muslim minoritas kini berlomba-lomba menyediakan wisata halal. Banyak hotel, tempat wisata, hingga bandara menyediakan berlomba "menghalalkan". Sebut saja Hotel Aerostar di Moscow, dapurnya telah tersertifikasi halal. Hotel ini juga menyediakan mushala berikut sajadahnya, mushaf Al Quran, hingga sampo dan sabunnya juga tersertifikasi halal. Begitu pula dengan Hotel Fairmont Makati dan Raffles Makati di Filipina. Thailand pun demikian, otoritas wisata di sana juga merilis aplikasi berbasis android dan iOS yang menyediakan informasi mengenai perjalanan halal semisal HalalTrip dan Muslim Pro.

Bahkan Jepang dengan Kansai International Airport juga menyediakan bandara yang ramah muslim. Di sana tersedia mushala berikut tempat wudzu-nya yang terpisah antara pria dan wanita. Restorannya pun tersertifikasi halal. Narita Airport dan Haneda International Airport pun telah menyediakan mushala sejak 2014.

Banyak contoh sudah bagaimana negara-negara yang bahkan di sana muslim justru sebagai agama minoritas justru menyediakan fasilitas halal. Itu semua untuk mengakomodasi dan menarik wisatawan muslim. Inovasi pun banyak bermunculan terkait wisata halal ini. Semisal Halal Holiday dengan mencakup resort dan hotel halal dengan hidangan yang halal pula. Adanya pemisahan kolam renang, spa, dan fasilitas lain antara pria dan wanita, penyediaan fasilitas pantai yang khusus untuk keluarga, hingga penggunaan pakaian renang yang tertutup semisal burqini (meski pakaian ini sempat menjadi pro-kontra). Inovasi lain, adanya pesiar halal dengan segala aspek kehalalannya.

Sertifikasi mengenai wisata halal menjadi hal yang dipertimbangkan. Di setiap negara memiliki lembaga yang mengeluarkan sertifikasi ini. Yah sebut saja MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Indonesia, Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) di Singapura, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) di Malaysia, dan banyak lagi contoh di lain negara.



Bagaimana dengan wisata halal di Indonesia?


Indonesia telah mendapatkan pengakuan dunia bahwa memiliki banyak hal yang mendukung wisata halal. Yah dengan jumlah muslim terbesar di dunia hal ini menjadi sangat wajar. Bagaimana dengan Yogyakarta? Menurut media massa, ada salah satu hotel, Hotel Cakra di Jalan Kaliurang yang sudah tersertifikasi. Sungguh menyedihkan memang jika baru satu yang telah tersertifikasi. Tapi proses ke sana harus ada dan kita harus mendukungnya.

Makanan halal menjadi hal yang wajib ada di dalam wisata halal. Oleh karena itu, pelaku wisata di negara-negara non-muslim pun berlomba mendapatkan sertifikat halal. Indonesia sudah tidak diragukan lagi kebutuhan dalam hal mengkonsumsi maupun menyediakan makanan halal. Tetapi, bagaimana dengan sertifikasinya? Mungkin di negara lain jumlah restoran yang menyediakan makanan halal jumlahnya tidak sebesar yang menyediakan makanan "sembarangan". Sehingga sertifikasi relatif tidak sebanyak di Indonesia. Semoga semua warung makan di Indonesia, warteg, warung padang, sate klatak, hingga angkringan bisa tersertifikasi halal. Hal ini agar Indonesia bisa benar-benar menjadi wisata halal yang sesungguhnya.

Halal tourism
atau wisata halal memang isu global. Wisatawannya pun bukan hanya wisatawan domestik melainkan wisatawan global pula. Karena memang yang suka dengan fasilitas halal ini bukan hanya wisatawan muslim melainkan masyarakat non-muslim pun kini semakin hari semakin suka dengan fasilitas halal. Jika memang kita mau menyasar pasar muslim yang katanya besar tadi, sudah waktunya kita sama-sama bergerak menyediakan semua fasilitas halal dan sesuai syariah. Negara lain sudah bergerak cepat, kita pun harus demikian. Btw, kapan kamu mau saya halalkan? *eh 😁


Literatur:
  • Battour, Mohamed., dan Ismail, Mohd Nazari. 2016. Halal tourism: Concepts, practises, challenges and future. Tourism Management Perspectives 19. 150–154.
  • Mohsin, Asad., Ramli, Noriah., dan Alkhulayfi, Bader Abdulaziz. 2016. Halal tourism: Emerging opportunities. Tourism Management Perspectives 19. 137–143.