Transportasi Online atau Konvensional, yang Penting Konsumen Puas

Transportasi Online atau Konvensional, yang Penting Konsumen Puas


Pekan keduapuluh tujuh, LBI 2017 mengambil tema transportasi berbasis online. Sudah berapa pekan ya saya meninggalkan tantangan Liga Blogger Indonesia 2017? Hahaha, ternyata lumayan lama dan posisi saya di klasemen terpuruh di papan bawah. Yah beginilah beberapa pekan menghadapi kegalauan di dunia nyata dengan lika likunya. Di masa-masa galau nan stres itu, ada sih sedikit perbincangan dengan beberapa teman mengenai transportasi online, sebut saja Gojek dengan Go-Ride dan Go-Car-nya, Uber beserta UberX mobil, Grab, apa lagi ya? Memang sih, tanpa merendahkan brand yang lain, Gojek memang yang paling terkenal.

Kenapa pilih ojek online?


Pilih mana, antara ojek atau taksi konvensional/pangkalan dengan ojek atau taksi berbasis online? Saya rasa banyak dari kita, jika melihat dari sisi konsumen, transportasi berbasis daring atau online lebih dipilih. Lha, kan mereka yang berbasis konvensional sudah lebih dulu ada? Memang, tapi jika kita merujuk pada urusan bisnis, kepuasan konsumen adalah yang utama. Dan kepuasan konsumen lebih banyak diberikan oleh transportasi online.

Sampai di tujuan bukan lagi nilai jual, tetapi sampai dengan nyaman, mudah, pelayanan yang baik, adalah nilai jual yang diberikan oleh transportasi online. Saya rasa ini sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Jika transportasi konvensional mau "merebut" pasar, bukan dengan membenturkan dengan hukum, melainkan dengan memperbaiki kinerja produknya.

Saya rasa sudah tidak bisa lagi kita berbicara mana yang lebih baik antara transportasi konvensional atau online hanya dari sudut pandang penggunaan gadget saja. Karena jika hanya menjadikan konsep online sebagai nilai jual, hanya akan hancur. Kepuasan atas kebutuhan konsumen adalah yang utama. Kemarin muncul konsep transportasi online karena memang setiap konsumen sekarang sudah memegang gadget. Setelah itu bagaimana?

Berapa sih jumlah driver gojek sekarang? Saya sempat ngobrol dengan salah satu driver gojek di Jogja yang sempat mengikuti proses rekrutmen awal. Dari beliau saya mendapat info bahwa pada awal mulanya, driver gojek di Jogja "hanya" 2000 driver saja. Sekarang berapa? Kalau tidak salah kemarin saya diberi tahu oleh salah satu teman yang menjadi driver gojek, jumlahnya lebih dari 10ribu driver. Jogja, kota kecil tetapi jumlah drivernya begitu buanyak. Dari sisi waktu menunggu konsumen dari order hingga sang driver ada di depan mata, bisa cepat karena jumlah drivernya banyak.

Apakah kemudahan dan kecepatan waktu tunggu saja yang akan menjadi nilai jual? 


Saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri tetapi belum sempat bertanya kepada mereka para driver atau dari sisi perusahaan, apakah jumlah driver yang sekian banyak itu bisa merepresentasikan perusahaan di mata konsumen? Apakah driver-driver ini sempat mendapat training cukup dari perusahaan? Atau bekal lulus ujian SIM sudah cukup? Apakah nilai kualitas driver hanya diukur dari jumlah bintang dan komplain dari konsumen saja?

Maksud saya begini, kadang konsumen pun tidak paham bagaimana seharusnya berkendara yang baik. Kalau di dalam salah satu serial tv OkeJek NetTV, digambarkan ada penumpang yang meminta drivernya ngebut lalu sang driver menjawab, "maaf ini sudah batas kecepatan yang diizinkan perusahaan". Apakah di dunia nyata jawaban itu dapat muncul dari mulut driver? Atau kasus lain, jika di persimpangan ada tulisan "belok kiri/lurus ikuti lampu APILL" tetapi si driver main terobos saja, apakah penumpang komplain? Saya rasa justru penumpang senang karena tidak perlu menunggu lampu merah. Ya, penumpang memang senang, tetapi aturan lalu lintas pun dilanggar oleh driver. Apakah di sini perusahaan tahu?

Kemudian, dulu sering digembar-gemborkan oleh operator transportasi online bahwa mereka yang memiliki motor/mobil bisa menjadi driver di samping pekerjaan profesinya. Misal ada karyawan pabrik yang di luar jam kerjanya bisa "nyambi" menjadi driver. Saya justru di sini cukup berbahaya dan mengabaikan sisi keselamatan. Mereka sudah cukup lelah dengan pekerjaan profesinya, sudah seharusnya istirahat agar esok pagi bisa bekerja kembali tetapi dipaksakan bekerja "narik" ojek. Jika (maaf, na'udzubillah) terjadi kecelakaan, baik kecelakaan di jalan atau kecelakaan kerja di perusahaan tempat ia bekerja, karena kelelahan atas kerja yang dobel tersebut, siapa yang akan menanggung biaya? Apakah operator transportasi online memberi asuransi? Atau perusahaan tempat bekerja harus klaim asuransi? Tentu yang paling rugi adalah perusahaan.

Online atau tidak, itu hanya masalah penggunaan teknologi. Jika memang ada perbedaan biaya, itu tentu dari sisi korporasi ada perbedaan sistem bisnis. Tetapi jangan lupa, kepuasan konsumen adalah yang utama. Setiap korporasi bisa mencari apa yang menjadikan konsumen puas. Jika memang transportasi konvensional tidak bisa mengejar dari sisi biaya, bisa mengejar sisi kenyamanan, keselamatan, atau atribut lain yang tidak dimiliki oleh operator transportasi online yang ada. Dan hidup di dunia online adalah keniscayaan yang sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. :)