Batik Indonesia, Inovasi Dari Hati

Batik Indonesia, sebuah warisan budaya yang keberadaannya telah diakui dunia. Batik bukan hanya monopoli satu kelompok budaya atau satu kota. Indonesia adalah negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai suku dan budaya tetapi terikat dalam satu ikatan, Bangsa Indonesia. Keanekaragaman suku dan budaya tersebut juga menyebabkan beraneka ragam pula jenis batik di Indonesia. Dari ujung barat Aceh hingga ujung timur Papua, semua memiliki batik dengan ciri khasnya masing-masing.


Bagi sebagaian orang, batik dianggap sebuah motif kain yang miskin inovasi. Motif batik dianggap itu-itu saja. Pakaian bermotif batik pun hanya seperti itu-itu saja. Bahkan di beberapa waktu yang lalu, batik selalu diidentikkan dengan orang tua. Beruntung beberapa waktu terakhir batik menemukan kehidupannya, bukan saja dipakai oleh orang-orang tua, anak muda pun mulai bangga dan nyaman memakai pakaian batik.

Batik bukan sekedar motif melainkan kehidupan. Batik dibuat tidak dengan sekedar menggoreskan cairan pewarna ke kain tetapi ada proses yang panjang di dalam pembuatannya. Mulai dari membatik menggunakan malam cair hingga terwujud kain batik butuh waktu yang panjang.

Batik lahir bukan tanpa inovasi. Inovasi yang lahir pada batik lebih dari sekedar inovasi keduniawian. Batik lahir dari nilai luhur yang ada di dalam hati manusia. Setiap bentuk motif yang ada di dalam batik memiliki nilai filosofis yang kuat. Nilai filosofis bukan sekedar bisa dilihat dengan mata melainkan hati yang berbicara.

Salah satu contoh, jika kita ingat mengenai motif batik truntum, batik ini sebagai simbol cinta yang tulus. Kanjeng Ratu Kencana yang sedang sedih dengan ketulusan hati membuat batik truntum ini hingga sang suami, Paku Buwana III kembali cinta kepada beliau. Hal ini sebagai contoh bahwa inovasi batik benar-benar muncul dari hati, bukan sekedar materi.

Sangat berbeda dengan kain modern dalam hal inovasi penciptaannya. Semisal T-shirt dengan sablonase, kain printing dengan motif check, strip, bunga-bunga, atau motif lain, serta kain-kain hasil industri manufaktur lainnya. Kain-kain ini berinovasi sekedar memenuhi kebutuhan pasar dengan motif-motif yang sesuai selera yang enak dipandang mata. Selera pasar selalu berubah dan tidak ada keabadian di dalamnya.

Jika kita bandingkan kedua jenis kain terebut, batik dengan kain hasil industri manufaktur, dalam teori hierarkhi kebutuhan Maslow, terlihat sangat berbeda. Kain bermotif hasil manufaktur masih berada di dasar piramida, hanya memenuhi kebutuhan fisiologi manusia. Hal ini mengingat inovasi yang ada hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi. Dan materi ini akan lebih banyak berkutat pada kebutuhan sandang, pangan, papan. Sedangkan batik jauh berada di atas, pada posisinya di piramida Maslow. Batik hadir sebagai wujud aktualisasi diri, atau sekurang-kurangnya untuk mendapatkan rasa kasih sayang dari sesama. Bahkan tidak sedikit batik hadir sebagai bentuk kerendahan hati di hadapan Rabb-nya.

Batik bernilai sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada kain manufaktur modern karena inovasinya bukan sekedar dari panca indera dan otak. Hati jauh lebih banyak berperan dalam penciptaan dan pembuatannya. Karena muncul dari hati, maka mata yang memandang pun akan merasa senang. Dan karena inovasi yang dilahirkan dari hati inilah, batik harus dijaga eksistensinya. Generasi mendatang agar bukan hanya tahu bahwa Indonesia memiliki batik atau mereka, dan juga kita, tahu akan jenis-jenis batik. Tetapi bagaimana kita juga bisa berbicara dengan hati. Inovasi di batik akan selalu muncul selama manusia Indonesia memiliki hati.