Perjalanan Panjang Itu Bernama Industry 4.0

Industry 4.0 atau industri generasi keempat, sebuah isu yang sedang hot-hotnya. Setiap seminar baik ilmiah maupun populer selalu saja membawa nama industry 4.0. Bahkan Presiden Jokowi pun sudah berbicara tentang ini. Kita memang belum benar-benar masuk ke era industry 4.0. Bahkan negara maju sekali pun belum ada yang berani mengklaim kalau mereka sudah benar-benar masuk ke industry 4.0. Yang ada adalah kita sedang menyongsong dan mempersiapkan hadirnya "artis cantik" ini. Sebenarnya apa dan bagaimana industry 4.0 itu terjadi? Dan nantinya bagaimana menghadapi revolusi industri 4.0.

Layaknya sebuah era yang akan datang, banyak pesimisme serta optimisme yang beredar di kalangan masyarakat. Ketakutan akan tersingkirnya peran manusia tergantikan oleh mesin menjadi isu yang merebak dimana-mana. Istilah-istilah yang awalnya asing semakin hari semakin terdengar jelas. IOT, Business Inteligence, Augmented Reality, dan istilah-istilah "planet luar angkasa" lainnya bukan lagi menjadi asing, meskipun kita belum tahu arti dan apa itu sebenarnya.
Perjalanan Panjang Itu Bernama Industry 4.0


Sejarah industri 4.0


Hadirnya industry 4.0 tidak ujug-ujug atau tiba-tiba mak gedebrug. Tetapi ini adalah hasil perjalanan sejak industri generasi pertama ribuan tahun yang lalu. Sebuah era generasi akan hidup karena hidupnya generasi sebelumnya. Mengapa era generasi industri ini terus tumbuh? Ada dua aspek yang mendasari, yang pertama adalah kita sebagai costumer atau pelanggan, dan yang kedua adalah faktor dari sisi pelaku industri itu sendiri.

Kita sebagai costumer atau pelanggan (kadang ada yang bilang konsumen) selalu memiliki ekspektasi dan pengalaman akan suatu produk. Mari kita bayangkan kalau kita ingin membeli suatu produk, entah itu camilan, sepatu, pakaian, nasi goreng, roti bakar, atau apa pun itu. Sebelum memutuskan membeli, kita sudah memiliki ekspektasi tentang bentuk, rasa, warna, kecepatan, pelayanan, dan segudang keinginan-keinginan lainnya. Dan jika kita pernah jajan nasi goreng di pinggir jalan sana pengalamannya begini, kalau di seberang lautan rasanya seperti ini, dan pengalaman-pengalaman lainnya. Termasuk kalau beli nasi goreng kita selalu minta cabenya sekian biji, minumannya esteh anget. Ekspektasi dan pengalaman itu yang sebenarnya ingin didekati oleh pelaku industri.

Faktor kedua akan hadirnya generasi baru era industri adalah dari sisi pelaku industri itu sendiri. Mereka dalam menjalankan roda produksi dan bisnis selalu tidak akan lepas dari yang namanya low cost process atau minimasi biaya dan fleksibilitas. Sebesar apa pun biaya yang harus dikeluarkan, minimasi biaya tetap harus dilakukan. Dan dalam menjalankannya harus fleksibel agar kehidupan industri tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Kalau zaman dahulu kala, setiap produksi selalu handmade dengan produktivitas rendah, jangkauan pasar ke costumer pasti rendah. Meskipun di kemudian hari produk-produk handmade memiliki pasar tersendiri, tetapi produk yang diproduksi masal harus hadir. Maka hadirnya industry 1.0 atau generasi pertama dengan ditandai hadirnya mesin uap. Semula proses produksi yang dikerjakan manual kini semakin cepat karena adanya bantuan mesin.

Mesin-mesin ternyata lebih cepat jika dikombinasikan dengan kelistrikan.  Karena proses yang "tersetrum" ini semakin hari semakin cepat, maka segala keilmuan agar proses produksi berjalan optimal pun muncul. Inilah industri generasi kedua atau industry 2.0. Kalau kita jalan-jalan ke pabrik sekitar rumah, masih banyak perusahaan yang baru ada di tahap ini. Meskipun masih di generasi kedua, setidaknya mereka sudah berusaha mendekatkan diri dengan ekspektasi dan pengalaman costumer.
Perjalanan Panjang Itu Bernama Industry 4.0

Ternyata mesin yang diberi arus listrik saja tidak cukup cepat untuk memenuhi ekspektasi pelanggan yang ingin selalu cepat. Jadi, kalau ada yang bilang bos-bos pabrik memaksa karyawannya kerja cepat, itu salah. Justru yang menuntut mereka kerja cepat adalah kita sebagai costumer, bos-bos hanya ikut suara kita saja. Agar proses produksi berjalan semakin cepat, maka mesin-mesin yang sudah dialiri arus listrik tadi dibuat otomatis. Di sini peran manusia terlihat semakin berkurang. Di sinilah kita secara umum berada, industri generasi ketiga atau industry 3.0.

Pengalaman pelanggan yang sudah tercatat termasuk ekspektasi yang dapat diprediksi pun harus dihadirkan dalam susunan mesin-mesin yang sudah berjalan. Mesin-mesin pun tidak seharusnya berjalan sendiri-sendiri. Mereka harus bisa "ngobrol" berkomunikasi satu dengan lainnya. Jika satu mesin membutuhkan sesuatu, mesin yang lain bersahutan menanggapi. Mesin saja saling pengertian, masa kita engga, haha... Costumer butuh sesuatu (bisa jadi belum mengatakan kalau ia butuh) tapi mesin-mesin sudah tahu. Mengapa, karena mereka sudah sehati. Itulah integrasi yang menghadirkan industry 4.0.

Sebagaimana kita baru menyongsong dan mempersiapkan, masih banyak hal yang bisa kita bahas tentang industry 4.0. Akan tetapi kali ini kita hanya berbicara tentang perjalanan panjang bagaimana industry 4.0 terjadi. Untuk selanjutnya kita bicarakan lain kesempatan. Sekarang saya mau kondangan dulu, jangan nanya kapan dikondangi, hahaha...