Batik, Industri dan Globalisasi

DIY memiliki indeks kebudayaan nomor satu di Indonesia, demikian yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY,  Aris Eko Nugroho, SP.MSi. Hal tersebut disampaikan dalam pembukaan seminar "Batik, Industri dan Globalisasi" Beliau juga menyampaikan bahwa kini museum di DIY mulai membuka diri dan menginventaris batik kuno. Oleh karena itu, seminar yang diselenggarakan oleh Museum Sonobudoyo kali ini merupakan salah satu bentuknya.

Tari Golek ayun-ayun sebagai pembuka seminar Batik, Industri dan Globalisasi
Tari Golek ayun-ayun sebagai pembuka seminar Batik, Industri dan Globalisasi
Seminar yang diselenggarakan di ruang auditorium lantai 2 Museum Sonobudoyo pada Senin 11 November 2019 ini menghadirkan tiga narasumber. Narasumber pertama Maria Wronska-Friend yang berkebangsaan Polandia tetapi telah tinggal 30 tahun di Australia dan selama itu pula (atau bahkan lebih) ia meneliti tentang batik, khususnya batik tulis. Beliau adalah peneliti senior dari James Cook University. Salah satu alasan pindahnya dari Polandia ke Australia karena lokasinya dekat dengan Indonesia. Pembicara kedua Brigite Willach yang merupakan artist/seniman dan kolektor batik dari Jerman. Dan pembicara ketiga adalah Pak Sektiadi dari Departemen Arkeologi FIB UGM. Karena kedua narasumber berkebangsaan luar negeri, maka materi disampaikan dalam Bahasa Inggris.

Maria Wronska-Friend menyampaikan kegelisahannya ketika berkunjung ke Jogja khususnya sepanjang Malioboro dan Beringharjo, bahwa yang ia temukan adalah batik print atau imitasi batik. Dimana batik tulis? Batik tulis adanya di toko dan harganya sangat mahal, demikian jawab para penjual batik ketika Maria bertanya. 

Bagaimana sejarah hadirnya imitasi batik atau yang sering kita sebut dengan batik print tersebut? Sir Stamford Rafless, Gubernur Jenderal Inggris ketika menjajah Indonesia, lah yang menjadi menjadi penyebabnya. Meski hanya sekitar tiga tahun, waktu yang sangat sebentar tetapi memiliki banyak perubahan di negeri ini. Salah satunya terkait batik, dimana waktu itu adanya adalah batik tulis. Di eranya, batik telah mengalami industrialiasi dan globalisasi

Rafless melihat bahwa batik bisa dikomersialiasi, tetapi bukan batiknya melainkan motifnya. Maka ia membawa beberapa lembar batik ke Eropa dan di sana dikerjakan tekstil bermotif batik. Di kemudian hari, kain bermotif batik dihadirkan dari Belanda yang berlabuh di Jakarta. Pada awalnya, tekstil bermotif batik ini memiliki kualitas kain yang buruk. Rafless pun meng-"komplen" terkait kualitas tersebut. Untuk pengiriman berikutnya, kualitasnya lebih baik. Kain tekstil bermotif batik, atau batik imitasi, ini tentu harganya lebih murah daripada batik asli. 

Hal ini didukung pula dengan kualitas kain asli Indonesia yang kurang bagus. Di Indonesia, kain-kain tenun kebanyakan lebarnya masih kecil. Untuk membuat pakaian yang lebar, dibutuhkan dua atau tiga lembar kain. 

Selain negara Eropa, Jepang pun membuat imitasi batik. Hal ini dengan ditemukannya dokumen serta kain bermotif batik tetapi juga bertuliskan tulisan kanji.

Pada tahun 1828-1829, Carlos Forel Koechlin yang berkebangsaan Perancis melakukan perjalanan ke Jawa, Sumatera, Singapura, Burma, dan India. Ia mengoleksi 35 tekstil dari Asia Tenggara khususnya batik dari Jawa dan kini tekstil-tekstil tersebut tersimpan di museum tekstil Perancis.

Di akhir abad 19, batik imitasi menemukan pasar baru di Afrika Barat
Di akhir abad 19, batik imitasi menemukan pasar baru di Afrika Barat

Brigitte Willach menyampaikan sedikit tentang sejarah dan juga terkait koleksi batik yang ia miliki. Bagaimana "batik" kalau di Eropa awalnya digunakan untuk menghias telur paskah di Eropa Timur. Setelah dikenalkan oleh pedagang Belanda, batik masuk ke Eropa. Para seniman pun mulai tertarik meski teknik yang digunakan belum menggunakan rintang malam melainkan dengan teknik celup ikat. Baru kemudian hari teknik rintang malam sebagaimana batik digunakan oleh para seniman di Eropa.

Brigitte kemudian menampilkan beberapa batik koleksinya dan karya seni lukisan yang dibuat dengan menggunakan teknik batik rintang malam. Bagaimana beberapa karya seni baik natularis, impresionis, maupun abstrak dibuat dengan menggunakan teknik batik. Untuk medianya, para artis menggunakan kain primisima yang didatangkan langsung dari Indonesia karena memang kualitasnya yang sangat baik.

Di slide terakhir presentasinya, Brigitte menampilkan kue dengan motif batik pekalongan yang dibuat oleh pattisserie di San Francisco.

Kue dengan motif batik pekalongan
Kue dengan motif batik pekalongan

Pembicara ketiga, Pak Sektiadi menyampaikan tentang membangkitkan lokalitas batik dan komunitas dengan studi kasus di Candi Sojiwan. Pengelolaan situs warisan budaya termasuk candi, kini telah bergeser dari monopoli pemerintah menjadi adanya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, warisan dan cagar budaya bisa menjadi sumber inspirasi. Harapannya ada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat bukan sekadar menjadi tukang parkir candi.

Terkait dengan batik, adanya cagar budaya maka bisa dihadirkan desain batik baru. Candi Sojiwan yang oleh masyarakat sekitar dikenal memiliki cerita fabel atau kisah tentang hewan, maka dieksplorasi nilai apa yang bisa dibuat dengan batik. Dua angsa dan kura-kura, dua karakter dari beberapa hal yang bisa dijadikan inspirasi batik candi sojiwan. 

Para perajin batik yang selama ini tidak terbiasa membuat desain baru, mereka diajak untuk membuat dan menghadirkan desain-desain baru. Maka dengan pendampingan dari para mahasiswa dan tim dosen, terciptalah banyak desain baru yang bisa dibuat menjadi batik yang terinspirasi dari Candi Sojiwan.

Berbicara tentang batik memang tidak akan ada habisnya. Semakin kita gali maka akan semakin banyak yang belum kita ketahui. Dari sisi desain, sejarah, budaya, teknik produksi, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, latar belakang pendidikan pun tidak terbatas karena siapa pun bisa masuk ke dunia batik sesuai kompetensinya. Seperti kali ini, kita belajar banyak tentang sejarah imitasi batik, desain, dan koleksi dari para tokoh. Malahan tokoh-tokoh ini berasal dari luar negeri. Masa yang dari luar negeri saja tertarik, bagaimana dengan kita?