5 Lagu Didi Kempot, Bukan Lagu Ambyar

Almarhum Didi Kempot adalah sebuah fenomena. Lama tidak mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot, tiba-tiba terdengar kalau beliau dinobatkan sebagai The Godfather of Broken Hearth. Memang sih, saya bukan penggemar berat lagu-lagu campursari maupun dangdut, meskipun belakangan saya akhirnya terkontaminasi juga.

5 Lagu Didi Kempot, Bukan Lagu Ambyar
Sumber: ig @didikempot_official

Mendengar lagu-lagu Didi Kempot, saya jadi teringat dengan masa-masa SMP belasan tahun yang lalu. Pada waktu itu, ada pelajaran elektronika dan kita praktik merakit radio. Ketika radio sudah bisa "nyangkut" di Radio Pop FM, sudah jadi lah radio rakitan kami. Stasiun radio ini sampai sekarang istiqamah dengan lagu-lagu dangdut dan campursari. Jadi lah waktu itu sering mendengarkan lagu Didi Kempot gara-gara ngotak-atik rakitan radio.

Sering mendengar pula lagu Stasiun Balapan yang dimainkan oleh kakak-kakak SMA yang sedang latihan drum band. Gedung SMP saya dengan SMA (yang kemudian hari saya juga sekolah di sana) hanya berbatas tembok. Lagu Stasiun Balapan menjadi terasa beda dalam instrumen drum band.

Banyak lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Didi Kempot bernuansa ambyar atau patah hati. Tetapi, banyak juga lagu yang non-ambyar. Berikut lima diantaranya:

1. Kuncung




Lagu yang menceritakan kesederhanaan kehidupan anak-anak di kampung pada masa itu. Masa-masa yang terkesan susah tetapi penuh nostalgia. Didi Kempot memang terkenal dengan lagu-lagu yang menceritakan kesahajaan dan jauh dari glamor. Pun demikian dengan lagu ini, kehidupan masa kanak-kanak yang dicukur kuncung, bercelana karung gandum, mandi belum ada sabun, dan mobil-mobilan dari tanah liat. Duh, sesuatu yang tidak akan ditemui lagi kehidupan yang demikian di masa mendatang. Tetapi, di balik itu ada sebuah harapan agar si anak nanti ketika besar bisa menjadi dokter.

2. Nunut Ngiyup




Hanya orang hebat yang bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa dari hal yang sangat biasa. Nunut ngiyup atau numpang berteduh karena kehujanan adalah sesuatu yang sangat biasa. Tapi, di tangan seorang maestro, lagu ini menjadi berkesan luar biasa.

3. Lampu Mati




Ini juga, dari mati lampu yang bagi kita adalah hal yang teramat sangat biasa, di tangan beliau bisa menjadi lagu yang rancak. Apa sih yang menarik dari mati lampu? Sepertinya tidak ada ya? Yang ada hanya gelap. Ternyata di dalam gelap itu bisa diceritakan dalam sebuah lagu.

4. Taman Jurug




Lagu yang bernuansa meriah dan menggembirakan. Sebuah lagu yang mengangkat sebuah taman di Kota Solo dekat Sungai Bengawan Solo. Banyak tempat di Indonesia menjadi tema lagu-lagu beliau, terkhusus di Kota Solo. Selain Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, ada juga Taman Jurug. Berbeda di dua lagu lain yang bernuansa perpisahan dan keambyaran, untuk Taman Jurug ini bernuansa kegembiraan.

5. Penyiar Radio




Ini sebenarnya lagu baru atau tidak terlalu lawas. Di lagu ini terasa sekali bagaimana Didi Kempot berterima kasih kepada radio dan penyiarnya. Di masa-masa itu, radio memang menjadi media yang utama sehingga lagu-lagu Didi Kempot sampai di telinga pendengarnya, termasuk saya. Bukan youtube, kanal streaming, atau mp3. Paling-paling bagi sebagian orang mengoleksi kaset atau CD. Tapi buat saya dan kebanyakan orang, radio adalah yang utama. Kehidupan radio memang unik. Dengan bermodalkan telinga, kita dipaksa menggambarkan bagaimana dan apa yang disampaikan oleh sang penyiar berbicara di balik corong mikrofon.


Sebenarnya, masih banyak lagu yang tidak ambyar. Masih ada Cucak Rowo, Sentir Lengo Potro, Dolanan Dakon, dan lain sebagainya. Tema-tema tentang kehidupan sehari-hari memang banyak diciptakan dan dipopulerkan disamping lagu-lagu kasmaran dan terlebih lagu-lagu ambyar.

Setelah Ki Narto Sabdo dan Manthous sebagai pendahulu dan legenda di dunia campursari, Didi Kempot pun berpulang. Kita tunggu entah berapa tahun lagi akan muncul legenda baru campursari.