Paradoks Permainan Kartu dan Industri 4.0

Sudah lama saya tidak membuat postingan nyinyir. Dalam postingan ini saya tidak berbicara politis dan tidak bermaksud menyerang salah satu capres. Saya tidak ingin memposisikan sebagai pendukung salah satu capres di postingan ini meskipun saya memiliki pilihan. Saya hanya tergelitik dengan janji kampanye salah satu capres yang juga berposisi sebagai petahana bahwa beliau akan meluncurkan tiga kartu jika terpilih kembali menjadi presiden. 

Paradoks Permainan Kartu dan Industri 4.0

Saya masih teringat perbincangan saya dengan salah satu dosen sekitar hampir setahun lalu. Beliau bercerita kalau baru saja mendapatkan kartu anggota dari sebuah perkumpulan yang beliau ikuti. Kartu itu hanya kartu biasa tanpa ada chip, barcode, atau apa pun yang bisa dibaca mesin. Lalu kartu itu untuk apa? Ya hanya sekadar sebagai alat identitas saja, tanpa benefit apa pun di dalamnya.

Baca juga ketika Achmad Zaky Bukalapak berbicara tentang riset dan "presiden baru"

Sebuah pertanyaan dari saya, mengapa capres petahana berjanji harus mengeluarkan tiga kartu? Mengapa tidak satu saja dengan tiga benefit yang berbeda? Satu kartu yang bisa digunakan oleh siapa pun baik itu yang kuliah, atau yang rentan miskin, atau yang masih menganggur tetapi masing-masing penerima hanya berhak atas haknya.

Bukankah selama ini kita sudah terlalu banyak kartu dan mereka jarang sekali dikeluarkan dari dompet? Di dompet kita pasti ada KTP, SIM, STNK, BPJS, ATM, dan beberapa kartu lainnya. Meskipun mereka termasuk golongan masyarakat yang perlu bantuan, adanya beberapa kartu juga menjadi keribetan tersendiri.

Salah satu keribetan lainnya adalah, ketika kita mau menggunakannya kita harus memfoto kopi. Buat apa kartu dengan chip yang mahal tapi ujung-ujungnya juga difoto kopi? Dengan peluncuran kartu baru tadi, bukankah akan menambah tebalnya dompet? Misal saya, sebagai pengangguran yang dijanjikan kartu pra kerja, menambah kartu lagi dong. Itu terlepas dari budget pro kontra kartu ini.

Sebuah paradoks, beberapa bulan yang lalu Presiden RI dengan bangganya me-lauch "Make Indonesia 4.0" yang merupakan roadmap industri 4.0 di Indonesia. Meskipun itu masih teramat sangat jauh sekali (kurang parah apa coba) untuk disebut roadmap. Tetapi di masa kampanye belum ada yang berbicara tentang industri 4.0 termasuk pihak petahana. Paling banter hanya berbicara tentang unicorn. Janji permainan tiga katu ini adalah paradoks karena ketika industri 4.0 berbicara tentang simplicity, justru tiga kartu ini bukan bentuk simplicity.

Masih ingat dengan iklan salah satu fintech DANA yang berbicara tentang dompet digital? Betapa ribetnya membayar dengan uang cash atau kartu kredit/debet. Maka diperkenalkan dompet digital yang tersemat dalam smartphone. Dengan kata lain, kita tidak perlu kemana-mana membawa dompet yang berisi uang cash atau kartu yang bermacam-macam karena sudah ada semuanya di gadget.



Belum perlu lah kita terlalu jauh untuk mengubah semua harus ada gadget. Tetapi kenapa tidak kita gabungkan saja tiga kartu tersebut dan kartu-kartu yang dijanjikan di 2014 lalu ke dalam satu kartu saja. Karena semua berhubungan dengan uang, bisa juga kan bekerja sama dengan pihak bank. Semacam e-money yang bisa digunakan untuk masuk ke stadion begitu lah.

Kartu sakti nan pintar yang harusnya di dalamnya memiliki chip bukan hal baru tetapi juga bukan barang lama. Bukan barang baru karena sudah banyak kartu ber-chip ada di Indonesia. Tetapi tantangannya adalah tidak semua pihak memiliki alat reader untuk membaca kartu ini terutama di kantor-kantor dinas pemerintahan. Justru ini kelebihannya, karena tidak mudah dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak berhak.

Baca juga bagaimana UMKM pun bisa ikut dalam industri 4.0

Jika nantinya satu kartu saja cukup, bukankah dalam produksinya bisa lebih "sederhana"? Hanya satu kartu tetapi bisa untuk apa pun. Misal kita sama-sama memiliki kartu yang wujudnya sama, tetapi kartu saya hanya bisa untuk mencairkan untuk pengangguran sedangkan kartu Anda hanya bisa digunaka untuk kuliah. Dalam distribusinya pun hanya satu kali distribusi. Jika saya sudah mendapat kerja, pihak server bisa menonaktifkan hak kartu pengangguran saya. Jadi (seharusnya) tidak ada ceritanya anak yang sudah lulus sekolah dua tahun lalu baru mendapat kartu pintar sekarang. O iya, data real time ini juga menjadi masalah tersendiri di negara kita. Tidak perlu lah alasan luasnya wilayah Indonesia menjadi alasan karena itu adalah kelebihan Indonesia.

Cukup sekian nyinyiran saya. Semoga tidak digunakan politis untuk saling serang capres-cawapres. Yang pasti, di KTP KTP kita masih sama-sama tertulis Warga Negara Indonesia kan? hehe...